MODUL
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
(UPAYA
PENANGGULANGAN KEMISKINAN)
DISUSUN
OLEH :
SISWA-SISWI
KELAS
XI MIPA 1
PEMERINTAH
KABUPATEN LUMAJANG
DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 3 LUMAJANG
Jl. Jend.
Panjaitan No. 079 Telp. 0334 - 881057
LUMAJANG - 67312
TAHUN
PELAJARAN 2014 – 2015
MODUL
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
(UPAYA
PENANGGULANGAN KEMISKINAN)
DISUSUN
OLEH :
SISWA-SISWI
KELAS
XI MIPA 1
PEMERINTAH
KABUPATEN LUMAJANG
DINAS PENDIDIKAN
SMA NEGERI 3 LUMAJANG
Jl. Jend.
Panjaitan No. 079 Telp. 0334 - 881057
LUMAJANG - 67312
TAHUN
PELAJARAN 2014 – 2015
IDENTIFIKASI
MASALAH
A. Latar
Belakang Masalah
B. Pengertian
Kemiskinan
C.
Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
D.
Data Kemiskinan Di Kabupaten Lumajang
E. Dampak
Kemiskinan
F.
Artikel
G. Motto
H. Kesimpulan
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Kemiskinan adalah keadaan dimanat seseorang atau sekelompok orang
tidak dapat atau tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari selama
hidupnya. Kemiskinan juga dapat dikatakan sebagai keadaan kekurangan uang dan
barang untuk menjamin kelangsungan hidup.
Jumlah penduduk miskin di kabupaten Lumajang masih terbilang cukup
tinggi yaitu sekitar 15% dari jumlah keseluruhan penduduk, yakni tahun
2010 diketahui ada 140.800 jiwa, 131.
B.
PENGERTIAN
KEMISKINAN
Kemiskinan merupakan sebuah permasalahan sosial yang sangat
kompleks dan harus segera mendapat penanganan yang tepat agar dapat segera
teratasi. Indonesia sebagai negara berkembang dan memiliki jumlah penduduk yang
besar tentu tidak dapat terhindar dari masalah tersebut. Ini dibuktikan dengan
jumlah penduduk miskin yang besar, mayoritas tinggal di daerah pedesaan yang
sulit untuk diakses bahkan di kota besar seperti Jakarta pun juga sangat banyak
ditemukan masyarakat miskin. Kemiskinan dapat diartikan dimana seseorang sangat
sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dikarenakan berbagai
penyebab salah satunya adalah rendahnya tingkat pendapatan yang diperoleh.
Pengertian
kemiskinan secara umum dipahami dengan suatu permasalahan yang dikaitkan dengan
sektor ekonomi masyarakat. Menurut ahli kemiskinan merupakan kondisi dimana
seseorang hidup dibawah standar kebutuhan minimum yang telah ditetapkan
berdasarkan kebutuhan pokok pangan yang membuat seseorang cukup untuk bekerja
dan hidup sehat berdasarkan kebutuhan beras dan gizi (Sajogyo).
Secara
ekonomi kemiskinan mempunyai definisi sebagai kekurangan sumber daya yang dapat
digunakan untuk meningkatkan taraf hidupnya menjadi lebih baik. Manusia
(masyarakat) dikatakan miskin karena alasan ekonomi biasanya berkaitan dengan
kemiskinan yang diperoleh tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kemiskinan yang rendah sering kali berkaitan dengan pendidikan yang juga
rendah. Suryahadi dan Sumarto, (2001) mengemukakan orang dengan pendidikan yang
lebih tinggi maka akan memberikan peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang baik
dan gaji yang tinggi. Dengan memiliki kemiskinan yang tinggi maka daya beli
masyarakat akan menjadi tinggi.
Nugroho
& Dahuri, 2004: 165 – 168 menyatakan kemiskinan merupakan kondisi absolut
dan relatif yang menyebabkan seseorang atau kelompok masyarakat dalam suatu
wilayah tidak mempunyai kemampuan untuk mencukupi kebutuhan dasarnya sesuai
dengan tata nilai atau norma tertentu yang berlaku di dalam masyarakat karena
penyebab natural, kultural dan struktural. Kemiskinan natural disebabkan
keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kemiskinan
struktural disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai
kebijakan, peraturan, keputusan dalam pembangunan, kemiskinan ini umunya dapat
dikenali dari transformasi ekonomi yang berjalan tidak seimbang. Kemiskinan
kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak disebabkan sikap individu dalam
masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak
dirinya dalam kemiskinan. Dengan kata lain seseorang dikatakan miskin jika
tingkat pendapatannya tidak memungkinkan orang tersebut untuk mentaati tata
nilai dan norma dalam masyarakatnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah keadaan
dimanat seseorang atau sekelompok orang tidak dapat atau tidak mampu untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari selama hidupnya. Kemiskinan juga dapat
dikatakan sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan
hidup.
C. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
KEMISKINAN
Ada beberapa
faktor-faktor penyebab kemiskinan. Menurut Suryadiningrat (2003) dalam
Rahmawati (2006), kemiskinan pada hakikatnya disebabkan oleh kurangnya komitmen
manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran ajaran agama, kejujuran dan
keadilan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap
diri sendiri dan orang lain. Penganiayaan terhadap diri sendiri manusia
tercermin dari adanya: (a) keengganan bekerja dan berusaha, (b) kebodohan, (c)
motivasi rendah, (d) tidak memiliki rencana jangka panjang, (e) budaya
kemiskinan dan (f) pemahaman yang keliru terhadap kemiskinan. Sedangkan
penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja
dan berusaha akibat dari adanya ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang
tidak mampu dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada orang miskin.
Kemiskinan secara
struktural pada umumnya disebabkan oleh lingkungan sosial budaya yang
menyebabkan adat kebiasaan masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan atau
keterisolasian terhadap smber daya alam dan manusia ataupun karena rendahnya
tingkat pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja.
Mudrajat Kuncoro (2006)
menganalisis penyebab kemiskinan dari dua faktor, yaitu faktor ekonomi dan
faktor sosial. Faktor ekonomi ditunjukan oleh (1) rendahnya akses terhadap
lapangan kerja dan (2) rendahnya akses terhadap faktor produksi seperti modal
usaha, akses pasar seta sedikitnya kepemilikan asset. Sedangkan faktor sosial
ditunjukan dengan rendahnya akses terhadap pendidikan dan rendahnya akses
terhadap fasilitas kesehatan.
Menurut Kartasamita
(1996), kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat
penyebab yaitu:
Rendahnya taraf pendidikan
Taraf pendidikan yang rendah
mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya
lapangan pekerjaan yang dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi
kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
Rendahnya derajat kesehatan
Taraf kesehatan dan gizi yang rendah
menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
Terbatasnya lapangan pekerjaan
Keadaan kemiskinan karena kondisi
pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama
ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk
memutuskan lingkaran setan kemiskinan.
Kondisi keterisolasian
Banyaknya penduduk miskin secara tidak
berdaya karenaterpencil dan terisolasi sehingga sulit atau tidak dapat
terjangkau oleh layanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati
oleh masyarakat lainnya.
Sharp, et al (1996)
dalam Mudrajat Kuncoro (2006) mencoba mengidentifikasi penyebab kemiskinan dari
sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya
ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi
pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam
jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat
perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia.
Kualitas sumber daya
manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya
upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya
pendidikan, nasib yang yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena
keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Ragnar Nurkse (dalam
Sukirno, 1985) menyatakan bahwa kemiskinan bukan saja disebabkan oleh
ketidakadaan pembangunan masa lalu tetapi juga menimbulkan hambatan pembangunan
di masa yang akan datang. Menurut pandangan Nurkse terdapat dua jenis lingkaran
perangkap kemiskinan yang menghalangi negara-negara berkembang untuk mencapai
tingkat pembangunan yang pesat antara lain:
Dari segi penawaran modal
Tingkat pendapatan masyarakat yang
rendah, yang diakibatkan oleh tingkat produktivitas yang rendah menyebabkan
kemampuan masyarakat untuk menabung juga rendah sehingga menyebabkan tingkat
pembentuka modal rendah.
Dari segi permintaan modal
Di negara-negara miskin perangsang untuk
melaksanakan penanaman modal rendah karena luas pasar untuk berbagai jenis
barang terbatas karena pendapatan masyarkat rendah. Sedangkan pendapatan
masyarakat yang rendah tersebut disebabkan oleh produktivitas masyarakat yang
rendah yang diwujudkan oleh pembentukan modal pada masa lalu. Pembentukan modal
yang terbatas tersebut disebabkan karena kurangnya perangsang untuk menanam
modal.
Meier dan Baldwin
(dalam Sukirno, 1985) mengemukakan pula satu lingkaran perangkap kemiskinan
yang timbul dari hubungan saling mempengaruhi diantara keadaan masyarakat yang
masih terbelakang dan tradisionil dengan kekayaan alam yang masih belum
dikembangkan. Untuk mengembangkan kekayaan alam yang dimiliki, dalam suatu
masyarakat harus memiliki tenaga kerja yang mempunyai keahlian untuk memimpin dan
dan melaksanakan berbagai kegiatan ekonomi.
Sedangkan Todaro (2006)
berargumen bahwa tinggi rendahnya kemiskinan di suatu negara tergantung pada
dua faktor utama, yaitu: tingkat pendapatan nasional rata-rata dan lebar
sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan.
Pada level rumah
tangga, menurut Gounder (2005) kemiskinan rumah tangga disebakan oleh beberapa
faktor yaitu: tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai oleh kepala rumah
tangga, usia kepala rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, daerah
tempat tinggal (rural/urban), ukuran rumah tangga, etnik (suku), serta sektor
pekerjaan yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Achia (2010)
menambahkan faktor lain yang dapat mempengaruhi kemiskinan rumah tangga adalah
usia dari rumah tangga tersebut serta agama yang dianut oleh kepala rumah
tangga.
Dabukke (dalam
Rahmawati, 2006), menyatakan bahwa peluang suatu rumah tangga berada dalam
kemiskinan dipengaruhi oleh faktor-faktor: jenis mata pencaharian utama, jumlah
anggota rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja,
luas sawah garapan setahun, luas sawah yang dimiliki, total pendapatan dari
kegiatan pertanian, total pendapatan dari kegiatan non pertanian, curahan waktu
rumah tangga di sektor pertanian dan curahan waktu rumah tangga pada sektor non
pertanian. Mathiassen (dalam Nasir, 2008) menambahkan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kemiskinan rumah tangga antara lain angka buta huruf, pendidikan
tertinggi yang ditamatkan, sektor pekerjaan utama kepala rumah tangga,
kepemilikan aset rumah tangga, kondisi perumahan, dan komposisi demografi.
Kemudian Mok T.Y, C.Gan dan A. Sanyal
membagi faktor-faktor penyebab kemiskinan menjadi empat kategori yang antara
lain:
- Demografi. Faktor penyebab secara demografi ini terdiri dari usia kepala rumah tangga, ukuran rumah tangga, jenis kelamin kepala rumah tangga, jumlah tanggungan dalam rumah tangga, ras dan migrasi yang pernah dilakukan oleh keluarga tersebut
- Status sosial dan ekonomi. Faktor penyebab kemiskinan rumah tangga secara status sosial dan ekonomi ini diindikatorkan melalui jenis sektor pekerjaan yang dikerjakan oleh kepala rumah tangga.
- Pendidikan formal tertinggi yang telah dicapai oleh kepala keluarga
- Region atau wilayah tempat tinggal
Faktor-faktor
kemisikinan di kabupaten Lumajang antara lain :
1. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk
Taraf pendidikan
yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan
sempitnya lapangan pekerjaan yang dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga
membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar peluang orang tersebut
memperoleh pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebaliknya
semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka semakin sempit peluang
seseorang tersebut mendapatkan pekerjaaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Data Pendidikan kabupaten Lumajang
PERIODE
|
SD/MI
|
SMP/MTS
|
SMA/MA/SMK
|
2013-2014
|
85816
|
29856
|
10858
|
2014-2015
|
65252
|
17734
|
9695
|
Berdasarkan
data tersebut dapat kami simpulkan bahwa tingkat pendidikan di kabupaten
Lumajang semakin menurun sehingga beresiko terhadap bahaya kemiskinan
2. Penggunaan sumber daya yang tidak efisien
Pemanfaatan sumber
daya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, pengelolaan sumber daya secara
efisien dan optimal akan mempengaruhi tingkat ekonomi sebuah masyarakat di
daerah tersebut. Sedangkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien akan
mengakibatkan beberapa masalah, salah satunya yaitu kemiskinan.
Pemanfaatan sumber
daya di kabupaten Lumajang dinilai kurang efisien, misal pengolahan buah pisang
sebagai komoditi utama kabupaten Lumajang yang hanya diolah menjadi produk
sederhana yang bernilai rendah seperti keripik pisang dan sale pisang, padahal
buah pisang masih dapat diolah menjadi produk-produk lain yang bernilai tinggi
seperti selai pisang dan ice cream pisang. Jika pengolahan di maksimalkan
dengan membuka usaha-usaha produksi olahan buah pisang, maka hal tersebut dapat
menambah pendapatan masyarakat dan dapat menciptakan lapangan pekerjaan
sehingga mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan.
Gbr olahan buah pisang
3. Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi
Tingkat pertumbuhan penduduk yang
tinggi pada suatu daerah akan mempengaruhi angka kemiskinan daerah tersebut,
hal ini karena semakin tinggi pertumbuhan penduduk maka akan semakin banyak
kebutuhan yang harus dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, penduduk
harus memiliki pekerjaan yang digunakan untuk menopang kehidupannya, sedangkan
lowongan pekerjaan yang tersedia hanya sedikit, sehingga banyak penduduk yang
menganggur (tidak bekerja), dan hal inilah yang menyebabkan angka kemiskinan
meningkat.
Data kependudukan di kabupaten Lumajang
(BPS)
PERIODE
|
MALE
|
FEMALE
|
TOTAL
|
2010/2011
|
491.521
|
514.937
|
1.006.458
|
2012/2013
|
498.787
|
525.031
|
1.023.818
|
Dari data di
atas, dapat kami simpulkan bahwa pertumbuhan penduduk di kabupaten meningkat,
sehingga akan mengakibatkan angka kemiskinan semakin meningkat.
4. Tingkat pendapataan penduduk yang rendah
Pendapatan masyarakat dalam bekerja
di gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, semakin lama kebutuhan akan
semakin meningkat dan bervariasi, maka untuk memenuhi kebutuhan yang semakin
banyak penduduk harus memiliki pendapatan yang banyak pula.
.
No
|
Kabupaten
|
Pendapatan (juta)
|
1
|
Lumajang
|
8.38
|
2
|
Kediri
|
140.06
|
3
|
Probolinggo
|
14.26
|
4
|
Gresik
|
21.37
|
5
|
Sidoarjo
|
22.58
|
Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa pendapatan penduduk di kabupaten lumajang
dikatakan masih rendah apabila dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di
jawa timur, hal ini akan berakibat pada angka kemiskinan yang tinggi
D. DATA KEMISKINAN DI KABUPATEN LUMAJANG
Penduduk
Miskin, Persentase Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), Indeks
Keparahan Kemiskinan (P2) dan garis Kemiskinan Kabupaten Lumajang
|
||||||||
Poor,
Percentage of Poor, Poverty Depth Index (P1), Poverty Severity Index (P2) and
a Poverty Line of Lumajang Regency
|
||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
No.
|
Uraian
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
2013
|
1
|
Jumlah Penduduk Miskin
|
199,000
|
180,700
|
157,800
|
140,800
|
131,900
|
126,000
|
123,900
|
2
|
% Penduduk Miskin (P0)
|
20.09
|
18.17
|
15.83
|
13.98
|
13.01
|
12.36
|
12.09
|
3
|
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
|
2.68
|
5.73
|
2.22
|
2.07
|
1.57
|
1.73
|
1.16
|
4
|
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
|
0.53
|
2.01
|
0.49
|
0.50
|
0.31
|
0.38
|
0.18
|
5
|
Garis Kemiskinan (GK)
|
125,749
|
147,758
|
168,586
|
185,321
|
202,773
|
215,326
|
228,796
|
Sumber : Data dan Informasi Kemiskinan,
BPS
|
Berdasarkan cuplikan data tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah
penduduk miskin di kabupaten Lumajang masih terbilang cukup tinggi yaitu
sekitar 15% dari jumlah keseluruhan penduduk, yakni tahun 2010 diketahui
ada 140.800 jiwa, 131.900 jiwa ditahun 2011, 126.000 jiwa pada tahun 2012
123.900 pada tahun 2013.
E.
DAMPAK
KEMISKINAN
Kemiskinan di dunia
ini akan sangat berperngaruh buruk terhadap lingkungan tempat tinggal kita ,di
bawah ini adalah 10 dampak dari bahaya kemiskinan yang apabila di biarkan
bisa membuat hidup hidup jadi tidak nyaman damai dan tentram.
1.
Berkurangnya rasa nasionalisme terhadap
suatu Negara, di karenakan lebih memikirkan kebutuhan untuk bertahan hidup saja
kesulitan apalagi memikirkan rasa cinta pada Negara.
2.
Banyak terjadinya tidak kejahatan di mana
mana , di karenakan masih banyaknya masyarakat yang berpikiran pendek dalam
memenuhi kebutuhan hidup dan sudah terlalu terdesak dengan kebutuhan tanpa di
bekali iman dalam agama sehingga segala cara pun di lakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
3.
Harga diri suatu Negara yang jatuh
dimata dunia dan akan diremehkan dan di anggap sumber daya manusianya tidak
punya potensi untuk maju dan hanya mengandalkan bantuan dan bantuan.
4.
Semakin tidak terurusnya generasi muda
oleh orang tua dan terlepas begitu saja dari pendidikan dan pengawasan orang
tua sehingga menumbuhkan generasi muda yang tidak mengindahkan akan budaya
ketimuran.
5.
Hilangnya rasa kegotong royongan dan
saling membantu di karenakan sudah menjamurnya budaya loe ya loe guwe ya guwe
sehingga menimbulkan kurangnya rasa persatuan di suatu Negara.
6.
Timbul banyak nya penyakit di mana mana
baik itu penyakit menular sex ataupun penyakin yang di sebabkan karena tempat
yang kumuh atau makanan yang di konsumsi tidak sehat .
7.
Semakin drastis berkurangnya belajar
agama atau keyakinan pada Tuhan di karenakan lebih pada memikirkan kebutuhan
yang utama yaitu makan.
8.
Terjadinya banyak perselingkuhan di mana
mana baik perselingkuhan dalam berbisnis, perselingkuhan dalam rumah
tangga dan perselingkuhan dalam mencintai tanah air.
9.
Semakin terpuruknya ekonomi bangsa yang
akan mengakibatkan kehancuran suatu bangsa, akibat ingin memisahkan diri dari
wilayah kesatuan tanah air.
10. Lahirnya sebuah kelompok masyarakat yang begitu pandai,dahsyat dan kreatif
melahirlan suatu yang baru dan canggih akibat terhimpit ekonomi dan terjadinya
revolusi masal dan terpecah belahnya suatu Negara menjadi Negara Negara kecil.
Sedangkan dampak kemiskinan
di kabupaten Lumajang adalah :
1.
Tingkat
pendidikan rendah
Putusnya sekolah dan kesempatan pendidikan sudah pasti merupakan dampak
kemiskinan. Mahalnya biaya pendidikan menyebabkan rakyat miskin di Lumajang
putus sekolah karena tak lagi mampu membiayai sekolah. Putus sekolah dan
hilangnya kesempatan pendidikan akan menjadi penghambat rakyat miskin dalam menambah
keterampilan, menjangkau cita-cita dan mimpi mereka. Ini menyebabkan kemiskinan
yang dalam karena hilangnya kesempatan untuk bersaing dengan global dan
hilangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan yang layak.
2.
Tingkat
kesehatan yang buruk
Kesehatan sulit untuk didapatkan karena kurangnya pemenuhan gizi
sehari-hari akibat kemiskinan membuat rakyat miskin sulit menjaga kesehatannya.
Belum lagi biaya pengobatan yang mahal di klinik atau rumah sakit yang tidak
dapat dijangkau masyarakat miskin. Ini menyebabkan gizi buruk atau banyaknya
penyakit yang menyebar di Lumajang.
3.
Semakin
banyaknya pengangguran
Pengangguran merupakan dampak dari kemiskinan, berhubung pendidikan dan
keterampilan merupakan hal yang sulit diraih masyarakat, maka masyarakat sulit
untuk berkembang dan mencari pekerjaan yang layak untuk memenuhi
kebutuhan. Dikarenakan sulit untuk bekerja, maka tidak adanya pendapatan
membuat pemenuhan kebutuhan sulit, kekurangan nutrisi dan kesehatan, dan tak
dapat memenuhi kebutuhan penting lainnya. Misalnya saja harga beras yang
semakin meningkat, orang yang pengangguran sulit untuk membeli beras, maka
mereka makan seadanya. Seorang pengangguran yang tak dapat memberikan makan
kepada anaknya akan menjadi dampak yang buruk bagi masa depan sehingga akan mendapat
kesulitan untuk waktu yang lama.
4.
Semakin
banyaknya kriminalitas atau tindak kejahatan
Kriminalitas merupakan dampak lain dari kemiskinan. Kesulitan mencari
nafkah mengakibatkan orang lupa diri sehingga mencari jalan cepat tanpa
memedulikan halal atau haramnya uang sebagai alat tukar guna memenuhi
kebutuhan. Misalnya saja perampokan, penodongan, pencurian, penipuan,
pembegalan, penjambretan dan masih banyak lagi contoh kriminalitas yang
bersumber dari kemiskinan. Mereka melakukan itu semua karena kondisi yang sulit
mencari penghasilan untuk keberlangsungan hidup dan lupa akan nilai-nilai yang
berhubungan dengan Tuhan. Di era global dan materialisme seperti sekarang ini
tak heran jika kriminalitas terjadi dimanapun.
5. Generasi penerus akan semakin buruk
Buruknya generasi penerus adalah dampak yang berbahaya akibat kemiskinan.
Jika anak-anak putus sekolah dan bekerja karena terpaksa, maka akan ada
gangguan pada anak-anak itu sendiri seperti gangguan pada perkembangan mental,
fisik dan cara berfikir mereka. Contohnya adalah anak-anak jalanan yang tak
mempunyai tempat tinggal, tidur dijalan, tidak sekolah, mengamen untuk mencari
makan dan lain sebagainya. Dampak kemiskinan pada generasi penerus merupakan
dampak yang panjang dan buruk karena anak-anak seharusnya mendapatkan hak
mereka untuk bahagia, mendapat pendidikan, mendapat nutrisi baik dan lain
sebagainya. Ini dapat menyebabkan mereka terjebak dalam kesulitan hingga dewasa
dan berdampak pada generasi penerusnya.
F.
ARTIKEL TERKAIT
Lumajang - Jumlah warga miskin di Lumajang Ternyata masih banyak.
Hasil pendataan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daera (Bappeda) mengalami
penurun yang signifikan. Penurunan warga miskin berkat sejumlah program
pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Misalnya Jamkesmas, Jampersalan, PNPM
Mandiri dan Gardu Taskin."Jumlah warga miskin mengalami penurunan,"
kata Kepala Bappeda Lumajang, Ir. Indah Amperawati Masdar pada wartawan dilobi
Gedung Pemkab Lumajang.
Dia menambahkan, pihaknya setiap
tahun terus melakukan koordinasi dengan instansi terkait yang bersinggungan dan
terlibat langsung dalam pengentasan kemiskinan. Sehingga, pengentasan kemiskian
bisa sesuai target pemerintah kabupaten, propinsi dan pusat."Kami sangat
memperhatikan warga miskin, karena ini sebuah persoalan dalam pemberdayaan
masyarakat," jelasnya.
Data di Bappeda Lumajang, Jumlah
warga Lumajang yang termasuk dalam miskin mencapau 15 persen dari jumlah
penduduk keseluruhan, yakni 157.760 jiwa ditahun 2011. Dibanding tahun 2010
diketahui ada 186.680."Penurunan ini melalui berbagai indikator dan
program yang dilakukan pemerintah," kata Kabid Sosial Budaya, Bappeda
Lumajang, Nugroho Yuda pada wartawan di ruang kerjanya.
Instansi pemerintah yang bersinggung
dengan pengentasan kemiskinan adalah Dinas Pemberdayaan Masyarakat (DPM), Dinas
Pekerjaan Umum (DPU), Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian dan Dinas Koperasi dan
UMK. "Setiap merencanakan pembangunan, kami memintai konsep program
dalam mengatasi warga miskin," paparnya.(adm)
Badan Pusat Statistik (BPS)
mengatakan, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 35 juta orang. Namun,
Bank Dunia menyebutkan ada 100 juta jiwa, jauh lebih besar dari yang disebutkan
BPS.
Berita di berbagai media massa pada 13 November 2010 menyebutkan ada dugaan manipulasi data oleh BPS meski lembaga itu juga membantah kritikan tersebut. Menurut BPS, perbedaan antara Bank Dunia dan BPS pada kriteria untuk menentukan garis kemiskinan.
Semakin tinggi garis kemiskinan yang kita pakai, semakin besar jumlah orang miskin yang kita peroleh. Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan yang lebih tinggi daripada yang digunakan BPS. Mana yang benar? Siapa yang disebut miskin? Apa ciri-ciri orang miskin? Para pengemis di jalanan di Jakarta?
Mereka yang kurus? Mereka yang berada dalam lingkungan hidup yang buruk? Mereka yang tidak pernah makan daging? Mereka yang sakit-sakitan? Mereka yang tidak berpendidikan? Konsep kemiskinan memang sangat luas.
Banyak pertanyaan yang dapat diajukan untuk menentukan siapa yang disebut miskin. Seorang kawan bahkan pernah memberi tahu bahwa kemiskinan harus diukur secara holistik, yang mencakup kemiskinan spiritual.
Saya mengerti maksudnya, namun saya terbentur bagaimana mengukur kemiskinan yang holistik tersebut. Sampai saat ini kita memang belum mempunyai suatu statistik yang dapat mengukur kemiskinan secara holistik.
Persoalan menentukan siapa orang miskin juga terkait penentuan apa yang menjadi tujuan pembangunan. Kalau tujuan pembangunan sekadar percepatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, kemiskinan cukup dihitung dengan pengeluaran untuk konsumsi individu.
Hal itulah yang telah dilakukan BPS dan Bank Dunia. Mereka hanya memfokuskan pada pengeluaran konsumsi individu. Statistik mereka tidak mencakup status kesehatan, ketersediaan air bersih, ketersediaan udara bersih, rasa aman,dan banyak lagi. Banyak negara dan lembaga internasional memakai cara pengukuran seperti ini karena memang relatif mudah.
Meski begitu, persoalan berikutnya adalah bagaimana menentukan garis kemiskinan. Berapa pengeluaran maksimal untuk konsumsi seorang individu agar dapat disebut sebagai orang miskin?
Persoalan menjadi tambah sulit karena kebutuhan minimal tiap orang dapat berbeda, bergantung pola konsumsinya. Contoh mencolok adalah ada orang yang harus makan daging untuk kebutuhan protein, dan ada pula yang hanya menggantungkan pada konsumsi buah, sayuran, biji-bijian, dan beras.
Bukan hanya perbedaan antarindividu, melainkan juga ada perbedaan antardaerah.Tingkat harga di tiap daerah berbeda-beda. Suatu daerah yang biaya hidupnya lebih tinggi akan mempunyai garis kemiskinan yang lebih tinggi.
Kalau tidak ada penyesuaian garis kemiskinan, inflasi yang cepat akan menyebabkan jumlah orang miskin menurun cepat.Namun,penurunan semacam ini amat menyesatkan karena semata disebabkan kesalahan dalam penentuan garis kemiskinan.
Sebab itu, garis kemiskinan harus selalu direvisi mengikuti tingkat inflasi yang telah terjadi. Walau persoalannya kompleks, kita tetap harus mempunyai statistik untuk mengukur kemiskinan. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menentukan garis kemiskinan dengan memperhatikan pola konsumsi masing-masing.
Indonesia (dalam hal ini BPS) menghitung pengeluaran minimal untuk mengonsumsi 2.100 kalori per orang per hari. BPS juga menghitung pengeluaran minimal untuk perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan banyak lagi.
Tiap tahun angka ini selalu direvisi, disesuaikan dengan kenaikan harga. Pendekatan ini telah dilakukan BPS sejak 1970-an. Dengan pendekatan ini, BPS menghasilkan angka 35 juta orang miskin untuk 2010. Namun, lembaga internasional seperti Bank Dunia harus mendapatkan kriteria yang dapat digunakan untuk memperbandingkan tingkat kemiskinan di semua negara di dunia.
Kalau tiap negara menggunakan kriteria masingmasing, Bank Dunia tidak dapat melakukan perbandingan antarnegara. Pada 1990, Bank Dunia pernah membuat kriteria bahwa semua individu dengan pengeluaran di bawah USD1 dikatakan miskin. Angka USD1 disebut garis kemiskinan internasional.
Angka ini diperoleh dengan mempelajari garis kemiskinan di banyak negara dan Bank Dunia berpendapat bahwa USD1 telah dapat mewakili garis kemiskinan yang digunakan di banyak negara. Dengan kenaikan harga, Bank Dunia juga menaikkan garis kemiskinan internasional tersebut.
Berita di berbagai media massa pada 13 November 2010 menyebutkan ada dugaan manipulasi data oleh BPS meski lembaga itu juga membantah kritikan tersebut. Menurut BPS, perbedaan antara Bank Dunia dan BPS pada kriteria untuk menentukan garis kemiskinan.
Semakin tinggi garis kemiskinan yang kita pakai, semakin besar jumlah orang miskin yang kita peroleh. Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan yang lebih tinggi daripada yang digunakan BPS. Mana yang benar? Siapa yang disebut miskin? Apa ciri-ciri orang miskin? Para pengemis di jalanan di Jakarta?
Mereka yang kurus? Mereka yang berada dalam lingkungan hidup yang buruk? Mereka yang tidak pernah makan daging? Mereka yang sakit-sakitan? Mereka yang tidak berpendidikan? Konsep kemiskinan memang sangat luas.
Banyak pertanyaan yang dapat diajukan untuk menentukan siapa yang disebut miskin. Seorang kawan bahkan pernah memberi tahu bahwa kemiskinan harus diukur secara holistik, yang mencakup kemiskinan spiritual.
Saya mengerti maksudnya, namun saya terbentur bagaimana mengukur kemiskinan yang holistik tersebut. Sampai saat ini kita memang belum mempunyai suatu statistik yang dapat mengukur kemiskinan secara holistik.
Persoalan menentukan siapa orang miskin juga terkait penentuan apa yang menjadi tujuan pembangunan. Kalau tujuan pembangunan sekadar percepatan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, kemiskinan cukup dihitung dengan pengeluaran untuk konsumsi individu.
Hal itulah yang telah dilakukan BPS dan Bank Dunia. Mereka hanya memfokuskan pada pengeluaran konsumsi individu. Statistik mereka tidak mencakup status kesehatan, ketersediaan air bersih, ketersediaan udara bersih, rasa aman,dan banyak lagi. Banyak negara dan lembaga internasional memakai cara pengukuran seperti ini karena memang relatif mudah.
Meski begitu, persoalan berikutnya adalah bagaimana menentukan garis kemiskinan. Berapa pengeluaran maksimal untuk konsumsi seorang individu agar dapat disebut sebagai orang miskin?
Persoalan menjadi tambah sulit karena kebutuhan minimal tiap orang dapat berbeda, bergantung pola konsumsinya. Contoh mencolok adalah ada orang yang harus makan daging untuk kebutuhan protein, dan ada pula yang hanya menggantungkan pada konsumsi buah, sayuran, biji-bijian, dan beras.
Bukan hanya perbedaan antarindividu, melainkan juga ada perbedaan antardaerah.Tingkat harga di tiap daerah berbeda-beda. Suatu daerah yang biaya hidupnya lebih tinggi akan mempunyai garis kemiskinan yang lebih tinggi.
Kalau tidak ada penyesuaian garis kemiskinan, inflasi yang cepat akan menyebabkan jumlah orang miskin menurun cepat.Namun,penurunan semacam ini amat menyesatkan karena semata disebabkan kesalahan dalam penentuan garis kemiskinan.
Sebab itu, garis kemiskinan harus selalu direvisi mengikuti tingkat inflasi yang telah terjadi. Walau persoalannya kompleks, kita tetap harus mempunyai statistik untuk mengukur kemiskinan. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menentukan garis kemiskinan dengan memperhatikan pola konsumsi masing-masing.
Indonesia (dalam hal ini BPS) menghitung pengeluaran minimal untuk mengonsumsi 2.100 kalori per orang per hari. BPS juga menghitung pengeluaran minimal untuk perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan banyak lagi.
Tiap tahun angka ini selalu direvisi, disesuaikan dengan kenaikan harga. Pendekatan ini telah dilakukan BPS sejak 1970-an. Dengan pendekatan ini, BPS menghasilkan angka 35 juta orang miskin untuk 2010. Namun, lembaga internasional seperti Bank Dunia harus mendapatkan kriteria yang dapat digunakan untuk memperbandingkan tingkat kemiskinan di semua negara di dunia.
Kalau tiap negara menggunakan kriteria masingmasing, Bank Dunia tidak dapat melakukan perbandingan antarnegara. Pada 1990, Bank Dunia pernah membuat kriteria bahwa semua individu dengan pengeluaran di bawah USD1 dikatakan miskin. Angka USD1 disebut garis kemiskinan internasional.
Angka ini diperoleh dengan mempelajari garis kemiskinan di banyak negara dan Bank Dunia berpendapat bahwa USD1 telah dapat mewakili garis kemiskinan yang digunakan di banyak negara. Dengan kenaikan harga, Bank Dunia juga menaikkan garis kemiskinan internasional tersebut.
Sekarang mereka menggunakan ukuran USD2 untuk garis kemiskinan internasional. Angka ini lebih tinggi dari garis kemiskinan di Indonesia, yang sekira USD1,5 per orang per hari. Dengan kriteria tersebut, Bank Dunia mencatat terdapat 100 juta orang miskin di Indonesia.
Adanya garis kemiskinan internasional seperti yang ditentukan Bank Dunia memang memudahkan perbandingan kondisi kemiskinan antarnegara. Namun, kriteria tersebut kurang memperhatikan pola konsumsi di tiap negara. Jadi, dengan kriteria sempit yang memfokuskan pada konsumsi, garis kemiskinan mana yang benar? Masih sulit menjawab.
Baik statistik BPS maupun statistik Bank Dunia mempunyai banyak kelemahan. Yang penting, kalau kita hendak melihat kecenderungan, kita harus melihat dengan satu definisi. Kita tidak dapat menggunakan definisi BPS untuk satu periode dan definisi Bank Dunia pada periode lainnya, atau pun definisi lain di saat lain lagi.
Kalau kita memakai definisi Bank Dunia, kita harus konsisten menggunakan definisi Bank Dunia. Kalau kita menggunakan definisi BPS, kita harus konsisten untuk menggunakan definisi BPS.
Yang menggembirakan, statistik mana pun yang kita gunakan, persentase penduduk miskin di Indonesia telah terus menurun. Selanjutnya, sebagai upaya untuk memahami kondisi kemiskinan secara lebih holistik, berbagai statistik lain harus kita tampilkan bersama statistik kemiskinan yang berfokus pada konsumsi individu.
Statistik status kesehatan, status gizi, tingkat pendidikan, air bersih, udara bersih, atau rasa aman juga perlu ditampilkan bersama-sama dengan statistik kemiskinan.
Akhirnya, Pemerintah Indonesia perlu memberi perhatian pada masalah kemiskinan, setidaknya sama besar dengan perhatian pemerintah pada pertumbuhan ekonomi dan variabel ekonomi makro lainnya. Statistik kemiskinan dan berbagai statistik yang disebut di atas perlu dihasilkan dan dilaporkan setiap tiga bulan sekali, bersamaan dengan laporan statistik ekonomi makro.(*)
ARIS ANANTA
Ekonom
(ade)
G. KESIMPULAN
Kemiskinan adalah keadaan dimanat seseorang atau sekelompok orang
tidak dapat atau tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari selama
hidupnya. Kemiskinan juga dapat dikatakan sebagai keadaan kekurangan uang dan
barang untuk menjamin kelangsungan hidup.
Jumlah penduduk miskin di kabupaten Lumajang masih terbilang cukup
tinggi yaitu sekitar 15% dari jumlah keseluruhan penduduk, yakni tahun
2010 diketahui ada 140.800 jiwa, 131.
0 komentar:
Posting Komentar